Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

[RESENSI] Novel Puya ke Puya : Keteguhan Menjaga Tradisi Tanah Toraja

Diantara tema yang selalu menarik perhatian juri sayembara novel DKJ, adalah yang bermuatan lokalitas. Novel ini adalah salah satu buktinya. Sebuah novel yang sarat dengan kisah seputar adat Toraja, dan mengantarkannya sebagai pemenang ke-IV dalam sayembara novel DKJ 2014,

Dikisahkan, kematian Rante Ralla, sang ketua adat Kampung Kete’ di tanah Toraja, memerlukan biaya sangat besar untuk upacara mengantarkan mayat (rambu solo) ke alam tempat menemui Tuhan (puya). Ketua adat harus diupacarakan besar-besaran, dipotongkan puluhan kerbau dan ratusan ekor babi demi derajat. (hal. 12).


Konflik bermula saat Allu Ralla, putra satu-satunya menolak mengadakan upacara, dan menyarankan agar ayahnya dimakamkan di Makassar. Allu Ralla hanya memiliki tabungan untuk membiayai pemakaman sederhana. Tidak cukup untuk mengupacarakan bangsawan sekelas ayahnya (hal. 17). Bagi Allu, kebudayaan adalah produk manusia, dan relevansi dengan zaman sangatlah penting. Jika sudah tak relevan, tidak perlu dipertahankan (hal. 21). Rencana itu ditentang keluarga besar sehingga mayat Rante Ralla tak kunjung diupacarakan.

Konflik lain muncul dengan masuknya perusahaan tambang di Tanah Toraja. Pengusaha hendak membeli tanah warisan milik Rante Ralla karena dianggap menghalangi akses menuju lokasi tambang (hal. 40). Pihak perusahaan bahkan telah membujuk Rante Ralla sejak dia masih hidup namun bersikukuh tak akan menjualnya.  

Sepeninggal Rante Ralla, pihak perusahaan berusaha membujuk keluarganya. Salah satu anggota keluarga, yaitu Paman Marthen menyetujuinya dengan alasan uang penjualan akan digunakan untuk membiayai upacara rambu solo. Namun Allu Ralla menolaknya dengan tegas. (hal. 49).

Tak kehilangan akal, pihak perusahaan tambang yang bersekongkol dengan kepala desa, memasang siasat dengan menyuruh Malena, anak kepala desa untuk merayu Allu Ralla. Malena adalah wanita yang dicintai Allu Ralla sejak lama. Malena mengajak Allu Ralla menikah. Permintaan itu disambut gembira oleh Allu Ralla, yang kemudian mengabarkan kepada ibunya Tina Ralla. Namun sang ibu melarang Allu menggelar rambu tuka, atau upacara kesenangan semacam pernikahan. Pemakaman Rante Ralla harus diselesaikan terlebih dulu. (hal. 99).

Tak ada jalan lain bagi Allu Ralla, selain berusaha mengumpulkan uang untuk membiayai pemakaman ayahnya dan pernikahannya nanti. Allu Ralla kemudian menyetujui permintaan pengusaha tambang untuk mencuri mayat bayi dengan imbalan puluhan juta rupiah. Di Toraja, bayi yang meninggal tidak langsung dikuburkan, melainkan disimpan dalam makam pada batang pohon, atau disebut passiliran. Saat galian tambang runtuh dan memakan korban, masyarakat setempat percaya bahwa untuk menghentikannya adalah dengan menguburkan mayat bayi di pusat tambang.  Bayi dianggap makhluk suci, sehingga bisa membuat tanah menjadi suci dan mencegah kemarahan penunggu lahan (hal. 113).

Allu Ralla diam-diam juga menjual tanah warisan kepada pihak tambang. Rasa bersalah karena telah menelantarkan mayat ayahnya, akhirnya membuat Allu Ralla berniat menebusnya dengan menggelar upacara yang paling sempurna. Dia akan mengadakan rapasan sundun atau tingkat pemakaman tertinggi (hal. 122).

Rapat keluarga digelar. Persiapan rambu solo segera dilaksanakan. Namun tepat pada hari upacara, pihak perusahaan tambang datang dengan alat berat untuk meratakan tanah. Secara hukum, pihak keluarga Rante Ralla akan kalah jika tidak mengizinkan. Keluarga pun menggelar rapat. Tina Ralla akhirnya membeberkan rahasia yang selama ini ia simpan, bahwa penyebab kematian Rante Ralla karena diracun orang-orang tambang (hal. 188).

Terbongkarnya rahasia menyulut kemarahan keluarga juga sebagian besar warga Kampung Kete’. Mereka kemudian beramai-ramai membakar lokasi penambangan. Situasi menjadi kacau. Konflik terbuka antara warga Kampung Kete’ dengan pihak tambang pun tak terhindarkan (hal. 204).

Dengan cara bertutur yang unik dan keragaman perspektif, novel ini mampu mengangkat persoalan lokal berlatar budaya Toraja pada dimensi yang lebih luas.  Pergantian PoV pencerita antara tokoh yang hidup maupun yang sudah mati secara lancar menjadi salah satu poin plus. Novel ini membuka wawasan pembaca bahwa keteguhan terhadap tradisi juga perlu dicermati agar tidak menimbulkan pergesekan dengan kehidupan sosial dan modernisasi.

Judul               : Puya ke Puya
Penulis             : Faisal Oddang
Jenis                : Fiksi (novel pemenang IV sayembara novel DKJ 2014)
Terbit               : Oktober 2015
Jumlah             : 211 hal
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN               : 978-979-91-0950-7

4 comments

  1. Seru kayaknya. Kudu baca nih. Selalu suka dengan novel berlatar kedaerahan. Berasa menjelajah nusantara. Tfs buat sharingnya, mbak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2. Iya mak kental bgt lokalitasnya ini novel

      Delete
  2. Wahhh penasaran pengen baca.. nanti nyari ah di gramed...
    Andaikan calon novel saya bisa ikut sayembara juga ya hehe

    ReplyDelete
  3. Sangat menarik konflik-konflik yg disuguhkan

    ReplyDelete