Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Resensi Buku Rabiah al-Adawiyah : Tauladan Kezuhudan Kaum Sufi



Sebelum membaca buku ini, saya akui, kalau saya baru sebatas pernah mendengar nama Rabiah al-Adawiyah tanpa pernah mengetahui kisah lengkap tentangnya. Dan melalui buku ini, ketidaktahuan saya akhirnya cukup terkikis.

 Buku ini dibuka dengan kisah-kisah kezuhudan Rasulullah yang nyaris tiada bandingannya dan bagaimana asal muasal kelahiran tasawuf yang berawal dari sikap zuhud dan gerakan zuhud. Gerakan ini lahir antara lain sebagai reaksi umat Islam ketika itu terhadap virus budaya hidup mewah dan sejahtera yang mulai merasuki umat Islam pasca penaklukan imperium Persia dan kekaisaran Romawi oleh umat Islam.

Kisah Rabiah baru kita temui pada bab berikutnya, mulai dari kelahirannya pada tahun 95 H di Bashrah di tengah keluarga miskin, Rabiah kecil yang cerdas dan mampu menghapal Al-Quran pada usia yang sangat belia, namun kesulitan hidup akhirnya membawanya ke jaring perbudakan. Pada masa ini, dikisahkan kalau Rabiah yang bersuara merdu sering disuruh majikannya untuk menyanyi dan bermain seruling di depan tamu-tamunya.

Rabiah akhirnya berhasil lepas dari belenggu perbudakan, dan dimulailah babak baru kehidupannya sebagai seorang yang terkenal akan sikap zuhudnya terhadap dunia. Turut pula disertakan cuplikan kisah tokoh zuhud lainnya yaitu al-Hasan al-Bashri, serta penjelasan terhadap kesimpangsiuran kisah tentang Rabiah, khususnya yang menyangkut karamah yang dimilikinya. Karamah adalah kelebihan yang dimiliki oleh para wali, dan ini tidak ditampakkan, berbeda dengan mukjizat yang dianugerahkan kepada para nabi dan harus ditampakkan. Namun dalam berbagai kisah yang beredar, karamah yang dimiliki Rabiah kerap dihubungkan dengan mitos yang tak berdasar.

Bab selanjutnya kian menegaskan kezuhudan Rabiah terhadap Sang Pencipta, dimana ia beribadah adalah benar-benar karena rasa cinta kepada Allah dan mengharapkan cintaNya, bukan karena faktor eksistensi syurga dan neraka. Dan ini merupakan level ibadah yang tentunya melampaui kualitas ibadah umat pada umumnya. Lihatlah bagaimana ungkapan Rabiah dalam hal ini :

“Aku tidak menyembah Allah karena takut akan neraka, tidak juga karena mengharap surga. Jika aku menyembahNya karena takut neraka atau mengharap surga maka aku seperti buruh yang buruk yang bekerja karena rasa takut. Aku menyembahNya karena cinta dan rindu kepadaNya.” (hal. 68).

Rabiah juga dikenal karena syair-syair sufistiknya yang mengilhami kelahiran syair-syair yang mengekspresikan rasa cinta kepada Allah swt. Rabiah pun tutup usia dengan tetap istiqamah dalam kezuhudannya, kecintaannya yang begitu dalam kepada Sang Pencipta, hingga dunia baginya tidak lebih besar dari sayap seekor nyamuk.

Membersamai lembar-lembar buku ini, kita akan dibuat terhanyut dengan kehidupan para sufi dengan tingkat ketaatan dan kecintaan mereka kepada Sang Khalik yang begitu mengagumkan. Bahkan pada bagian-bagian tertentu tak urung membuat hati nelangsa, saat menyadari betapa rendahnya kualitas ibadah dan kecintaan diri ini kepada Illahi dibandingkan mereka. Nelangsa yang juga membersitkan pertanyaan, akankah kelak hanya mereka yang berada pada level sufi ini, yang berhak mendapatkan pertolongan Allah di akhirat kelak? Wallahu’alam.

Satu yang pasti, kisah-kisah kezuhudan ini sangat pantas menyertai langkah kita dalam menjalani kehidupan, agar dapat menjadi pengingat dan pengerem saat diri mulai terbawa arus atau bahkan larut dalam hal-hal duniawi. Bahkan saat “berpisah” dengan buku ini, kata “zuhud” seakan terus mengekor kemana pun saya melangkah, lalu bergema berulang-ulang di dalam hati saat pikiran saya mulai terfokus memikirkan duniawi.

Sebelum membuka bagian identitas buku, sungguh, saya tidak menduga kalau ini adalah buku terjemahan. Penuturannya cukup lancar dan mudah dipahami meski pada sebagian besar lembarnya kita akan banyak menemukan pengulangan-pengulangan yang menegaskan tentang kezuhudan Rabiah juga penyangkalan atas mitos-mitos yang berkembang seputar sisi karamah beliau. Namun mengingat isinya identik dengan kehidupan sufi dan tasawuf, maka tentu saja membutuhkan sedikit kecermatan ekstra untuk memaknai maksud kandungannya.

Kita mungkin masih terlalu jauh untuk mencapai derajat ibadah dan keimanan selayaknya kaum sufi, namun kisah hidup dan ketaatan mereka merupakan jejak sejarah yang sangat layak untuk diteladani. Melalui kisah-kisah mereka, akan mengentak kesadaran bahwa ibadah bukanlah semata-mata kewajiban atau karena takut terhadap siksa, tetapi merupakan sarana untuk menumbuhkan kemuliaan jiwa dan kebahagiaan dalam diri manusia sebagai hambaNya.

Sebagai penutup, salah satu “tips” dari buku ini untuk pembacanya dalam menuju maqam cinta kepada Illahi, adalah dengan jalan mengikuti apapun yang dihalalkan Allah dan menjauhi apa yang diharamkanNya. Memperbanyak tilawah dan melakukan upaya pendekatan kepadaNya lewat amalan-amalan sunnah. Atau seperti yang diungkapkan Rabiah, “Buah pengetahuan spiritual adalah kau memalingkan wajahmu dari makhluk dan menghadapkannya hanya kepada Allah. Sebab, jika disebut makrifat maka itu hanyalah makrifat kepada Allah.” (hal. 108).


Judul       :            Rabiah  al-Adawiyah
Penulis    :            Dr. Makmun Gharib
Penerbit  :            Zaman
Tebal      :           168 hal
Jenis      :            Non Fiksi (Kisah Islami)
Terbit     :            2012



8 comments

  1. Eh, pinjem dong bukunya... lagi butuh nih. Serius.

    ReplyDelete
  2. Aku malah belum baca bukunya ehehehe...kisah Rabiah bagus untuk difilmkan ya. Inspiratif!

    ReplyDelete
  3. yeni : udah kirim :)
    leyla : qiqiqi, duh zuhud banget itu sosok rabiah, iya mudah2an ada miniserinya kaya' serial umar bin khatab

    ReplyDelete
  4. saya juga belum tahu banyak ttg kisah wanita hebat ini.. :(
    ini berarti penerjemahnya bagus ya, Mbak.. sampe nggak berasa lagi baca buku terjemahan..

    ReplyDelete
  5. Saya paling suka paragraf terakhir di resensi Mbak :)
    belum pernah baca buku ini.

    ReplyDelete
  6. “Aku tidak menyembah Allah karena takut akan neraka, tidak juga karena mengharap surga. Jika aku menyembahNya karena takut neraka atau mengharap surga maka aku seperti buruh yang buruk yang bekerja karena rasa takut. Aku menyembahNya karena cinta dan rindu kepadaNya.” (hal. 68).

    Quote yang ini sangat mengganggu saya.ini yang membuat saya tidak nyaman membaca buku2 Islam, karena ada pemahaman yang rasanya membuat isi kepala saya bertentangan, antara bacaan dan pemahaman yang saya dapatkan dari mengilmui (-_-")

    ReplyDelete