Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Resensi Novel Interlude : Such A Different Colour of Love Story

22081836

Resensi                       :
Kali ini Windry berkisah tentang Kai dan Hanna. Kai yang seorang produk broken home, hidup berantakan, nyaris putus kuliah, sering melarikan diri pada minuman beralkohol, dan dalam soal asmara – tergolong penganut pergaulan bebas. Di sisi lain, Kai sebenarnya seorang pria cerdas dan gitaris jazz yang sangat berbakat. Bersama kedua rekannya, Gitta dan Jun, mereka membentuk grup bernama Second Day Charm.


Sedangkan Hanna, seorang gadis yang mengalami trauma akibat diperkosa mantan kekasihnya, membuat Hanna berubah menjadi gadis yang rapuh, lemah, dan membutuhkan seorang therapi untuk membantu pemulihan psikisnya.

Pertemuan Kai dan Hanna menghadirkan sentuhan yang berbeda dalam hati masing-masing. Sentuhan yang dirasakan Kai, berbeda dari apa yang selama ini ia rasakan saat “bermain-main” dengan banyak perempuan lalu meninggalkannya. Sementara dalam hati Hanna, interaksinya dengan Kai selalu mendatangkan kehangatan dalam hatinya. Namun, kedua rasa ini ternyata tidak mudah untuk saling bertaut. Saat Kai menyatakan perasaannya pada Hanna, gadis itu justru menghindar, menjauh, sikap yang tak lain adalah wujud traumanya atas peristiwa tragis yang menimpa dirinya.

Selain itu, terdapat pula kisah tentang Gitta. Vokalis Second Day Charm yang juga tinggal di kompleks apartemen yang sama dengan Hanna, punya sikap sinis dan protektif terhadap Hanna, karena ia tak ingin Hanna dikecewakan oleh pria macam Kai meski ia juga tidak terlalu dekat dengan Hanna. Namun, Gitta menyimpan masalah yang tak kalah kompleks. Ian pacarnya adalah seorang pria psikopat, dan Gitta yang terlalu mencintainya selalu luluh dan tak mampu melawan kekerasan yang dilakukan Ian. Padahal, anggota grup mereka yang lain, yaitu Jun, juga punya perasaan spesial terhadap Gitta.

Ini adalah novel pertama Windry untuk genre roman new adult, yang juga merupakan lini baru di penerbit Gagas Media. Lini yang khusus menerbitkan novel-novel roman dewasa, atau boleh juga dianggap sebagai harlequin versi lokal.

Penampilan sampul dan blurb novel ini, sebenarnya sudah memberi identitas atas “kedewasaan” muatan level keintiman dalam novel ini, namun, sepertinya akan lebih baik, jika novel ini juga memasang kode novel dewasa, kalau perlu dengan batasan umur seperti pada tayangan televisi, meski pun pada kenyataannya, saat buku sudah dilempar ke pasaran, tidak ada kontrol khusus yang bisa diberlakukan pada pembeli dan pembaca.

Pada novel ini, Windry kembali menunjukkan kemampuannya dalam mengolah diksi yang cerdas dan efektif, dialog yang segar, latar kehidupan musisi dan karakter tokoh-tokohnya yang hidup. Pembaca akan dengan mudah mengidentifikasi sosok Kai yang berengsek, Hanna yang ringkih (sosok ini sedikit banyak mengingatkan saya pada sosok Haru dalam novel Windry lainnya yaitu Montase), Jun yang terkendali dan Gitta yang sinis. Pembaca juga bisa menikmati kehidupan musisi jazz yang disajikan cukup deskriptif dan detail oleh Windry, dilengkapi dengan beberapa lirik lagu yang indah.

Hanya saja, kesan yang saya peroleh setelah menutup novel ini, berbeda dengan apa yang saya dapat setelah membaca Memori, Montase dan juga London. Memori, sebagai novel Windry terbaik di mata saya, mampu meninggalkan kesan akan kehangatan keluarga dan pengorbanan. Montase meninggalkan jejak dalam benak saya akan perjuangan tokohnya mencapai cita-cita meski dihadang berbagai rintangan, dan untuk London, meski kesan-kesan itu sedikit memudar, berhubung saya memang kurang klik dengan selipan unsur fantasi di dalamnya, tetapi latar kota London yang diceritakan dengan baik cukup membuat terhibur.

Lalu, bagaimana dengan Interlude? Jujur saja, setelah menutup novel ini, saya merasa....sesak. Saya seperti tengah dihadapkan dengan orang-orang yang tumbuh dari latar kehidupan yang rumit, memecahkan masalahnya dengan cara yang tak kalah rumit dan memiliki karakter yang juga kompleks.

Lihatlah bagaimana Kai melarikan persoalannya pada minuman keras dan berganti-ganti pasangan kencan termasuk teman tidur. Atau Gitta yang rela “pasang badan” pada perlakuan psiko kekasihnya atas nama cinta dan demi karir musik grup mereka, di mana Ian sempat bergabung sebagai drummer. Hanna yang begitu sulit membebaskan diri dari trauma meski telah didukung bantuan psikiater. Juga Jun yang dengan sikap tenangnya lebih memilih untuk mengalah ketimbang memperjuangkan perasaannya pada Gitta hingga apa yang dialami Gitta harus terjadi berulang-ulang.

Dan, saya juga menyimpan beberapa inkonsistensi yang berputar-putar dalam pikiran saya terhadap novel ini : mengapa mama Hanna yang katanya over protective justru membiarkan saja anaknya indekos di apartemen ketimbang tinggal bersama orang tua, padahal mereka tinggal di kota yang sama juga mengingat apa yang dialami Hanna? 

Untuk sosok Hanna sendiri, jika melihat apa yang dialaminya, dalam bayangan saya akan berubah menjadi sosok yang dingin berbalut ketakutan bercampur kebencian terhadap lelaki, namun apa yang dia tunjukkan pada Kai, lebih cenderung pada dingin yang malu-malu kucing, sikap yang justru lebih berpotensi memancing rasa penasaran pria seperti Kai. Dan Gitta, sejak awal saya menangkap kuatnya karakter sinis, keras, emosian dan egois pada dirinya, tetapi di sisi lain, kenapa dia begitu mudah untuk tunduk bahkan mengalah pada kekerasan pacarnya?

Saya sempat berharap, dalam novel ini Windry juga akan menggambarkan perjuangan grup musisi jazz dalam meraih impiannya, seperti juga apa yang berhasil dilakukan Windry dalam Memori dan Montase pada profesi tokoh-tokohnya. Namun dalam novel ini, perjuangan mereka terkesan mudah, dan konflik lebih fokus pada masalah internal yang dialami tokoh-tokohnya. 

Adanya latar kisah orang tua Kai yang ingin berpisah, dan keluarga yang berantakan, sebenarnya cukup menarik dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat antara ketimpangan kecerdasan dan sikap yang dimiliki Kai. Betapa kecerdasan dan kehidupan mapan tak mampu mencegah seseorang bertumbuh menjadi pribadi yang berantakan saat keluarga telah kehilangan keharmonisan dan kasih sayang yang dalam.

Namun, barangkali “tuntutan” dari genre novel ini akan warna roman dewasa yang lebih “kental”, membuat warna itulah yang lebih mendominasi  kisah ini dan dengan sendirinya, muatan-muatan lainnya menjadi sedikit memudar. Di lain sisi, kekentalan itu ternyata juga harus berbenturan dengan kultur. Meski kultur yang tertuang dalam novel ini boleh jadi adalah potret segelintir kehidupan masyarakat negeri ini, namun tetap saja, siapapun bisa dengan mudah mengidentifikasi gaya pergaulan yang dengan mudah “melegalkan” keintiman lewat sentuhan fisik (bibir-red) dan tidur bersama, adalah kultur pergaulan ala western.

Jadi, bagi anda yang penasaran dengan novel-novel dari genre ini, sebaiknya memastikan diri terlebih dulu bahwa anda adalah seorang pembaca “dewasa”, bukan hanya sekadar dewasa dalam usia, tetapi juga dewasa dalam pengendalian diri dan kemampuan menyaring nilai yang terkandung dalam sebuah bacaan.





 Judul                          :            Interlude
Penulis                        :            Windry Ramadhina
Penerbit                      :            Gagas Media
Tebal                          :            371 hal
Genre                         :            Fiksi (novel dewasa)
Terbit                          :            Cetakan pertama, 2014
ISBN                          :            9789797807221







7 comments

  1. Jika dihadapkan pada buku ini, saya mungkin ingin membacanya. Untuk saya sendiri, mungkin saya sudah cukup 'dewasa' mengendalikan diri, ahahahh... Tapi mungkin tidak untuk remaja dan anak-anak ya mbak.
    Okesip, mantap banget review-nya mbak.

    ReplyDelete
  2. nampak sekali reviuwer-nya...pintar dan cerdas..siiplah..

    ReplyDelete
  3. Tafibya berharap interlude mirip2 memori tapi ternyata oh ternyata

    ReplyDelete
  4. Suka dengan endingnya
    Seharusnya ada label dewasa di novel ini ya mbak :)

    ReplyDelete
  5. iya mbak Eky, kalo untuk pembaca dewasa sih no problem :)

    belum masuk kategori review cerdas ini mbak Nita, hehe, makasih ya udah mampir

    mbak ika, mungkin krn lini genre-nya juga beda

    Esti, iya, harapannya sih begitu, walaupun covernya juga sebenernya udah menggambarkan ciri itu

    ReplyDelete
  6. Membaca resensi ini, seakan membaca tentang resensi saya sendiri. Saya juga sependapat dengan mbak Riawani apalagi di bagian

    "Dan, saya juga menyimpan beberapa inkonsistensi yang berputar-putar dalam pikiran saya terhadap novel ini : mengapa mama Hanna yang katanya over protective justru membiarkan saja anaknya indekos di apartemen ketimbang tinggal bersama orang tua, padahal mereka tinggal di kota yang sama juga mengingat apa yang dialami Hanna? "

    :)
    Resensi saya bisa di baca di sini

    http://www.bebekbulat.com/2014/07/review-novel-interlude-selalu-ada-jeda.html#more

    ReplyDelete
  7. mantab ini novel, dan saya memilih novel ini sebagai bahan penelitian skripsi saya

    ReplyDelete