Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

BAHAGIANYA SANG BATU NISAN



Andai hidup ini hanya ada satu pilihan, sudah pasti, pada bahagialah ia akan menjatuhkan pilihan.  Tapi, nyatanya dunia terlalu penuh warna. Bahkan kini, warna itu kian beragam. Hingga ia pun tak mampu kenali pasti mana yang sebenar-benarnya hitam, mana yang benar-benar putih. Selalu ada bias abu-abu mengiringi, yang membuatnya pun tak ingin semena-mena mengatakan itu hitam atau putih, selain cukuplah mengatakan, bahwa visualnya hanya mampu menangkap fatamorgana.
 
gambar dari sini

Betapa ia inginkan, semua bisa memahami, kenapa ia harus berteriak, kenapa pula di waktu berbeda ia justru tertawa terbahak-bahak, kenapa ia mampu mengukir senyum bijak saat menyambut pagi, namun insomnia dan kegelisahan kronis adalah sahabat terbaiknya saat semua orang telah berkalung mimpi.

Namun, ia tak pernah mampu membuat semua orang paham. Alih-alih menepuk bahunya tanda pemakluman, tanda mengerti, orang-orang justru menatapnya dengan mata rabun. Mereka bilang kalau dia mengenakan sari merah jambu, padahal ia tahu persis bahwa yang tersampir di tubuhnya adalah sehelai kain cokelat tua. Mereka mengira dia batu cadas yang kebal abrasi dan erosi, padahal dia ingin menertawakan seorang lelaki tua yang berbalik badan, tak jadi menancapkan kapak di tubuhnya hanya karena sang lelaki tua mengira kapaknya akan tumpul.

Andai laki-laki itu tahu, justru dia tak perlu bersusah payah mengayun kampaknya keras-keras, karena sang batu cadas, nyatanya tak lebih liat dari segumpal kapas.

Adakala, jangankan membuat pilihan, ia bahkan tak tahu apa yang semestinya ia anggukkan, dan mana yang selayaknya hanya ia anggap angin lalu, karena sang angin lalu, ternyata mampu membuatnya terdiam dan tergugu.

Terkadang, ia berkhayal ingin menjelma batu nisan. Untuk alasan yang sederhana. Bahwa tak ada angin yang mampu menerbangkan batu nisan. Entah, kalau suatu saat badai tsunami datang. Hanya dengan menjelma batu nisan, ia bisa meresapi kesunyian yang syahdu, orang-orang datang untuk melantun doa, tanpa ribut-ribut mengomentari akan pilihan dan warna. Ia tak perlu mendongak pongah, memamer beragam atribut, dan berteriak nyaring untuk membuat orang-orang tunduk dan hormat. Dalam diamnya, dalam kesederhanaannya, ia mampu membuat semua orang bergetar ngeri, dan tak ada yang lebih ditakutkan selain ajal yang menjemput terlalu dini.

gambar dari sini

Perlahan, ia melangkah dalam bimbang. Kata orang, kebahagiaan itu, diri sendirilah yang menciptakan. Tapi, bagaimana mungkin, ia bisa mencipta bahagianya seorang diri? Sedangkan saat terjaga, ia sadari bahwa ia pun tak tidur sendirian. Bagaimana ia bisa berteriak sepuasnya, sementara di sekelilingnya orang-orang menutup telinga atau bahkan menyuruhnya diam? Bagaimana ia bisa berlari sekencangnya, di tengah arus keramaian yang setiap saat bisa membuatnya jatuh terguling lalu terinjak?

Bagaimana ia bisa......?

Sesaat, ia berhenti. Meresapi khayalannya dalam-dalam. Berdiri di tengah kesunyian, diantara deretan batu nisan. Menghirup napas ketenangan  tak terbantahkan. Sebelum pagi kembali mengurungnya dengan berjuta warna. Membuatnya silau, namun tetap ditegakkannya langkah dan kedua bahu, meski pun, ia harus berpura-pura buta.     

2 comments

  1. Dan Nisan pun mengirimu selembar kertas, dengan kata-kata mengalun getir.

    Dear Lyta, betulkah kesepian semacam inikah yang kau cari? Tidak... seandainya boleh memilih, aku akan bercanda dengan matahari, terbang bersama burung-burung, dan menjajal laku yang penuh kelintar gairah...

    Di sini, dalam diam yang senyap, bahkan aku tak mampu menahan lumut-lumut yang mengotoriku. Dan semakin tercekam aku oleh jerit ahli kubur saat bertemu sang malaikat penjaga barzakh.

    Tidak, aku bosan jadi nisan. Aku ingin bebas, tersenyum lepas memandang dunia, bersama orang-orang yang aku cinta.

    Salam,
    Batu Nisan

    ReplyDelete
  2. haha, tetap saja dirimu gagal membaca kelindan pikiranku, qiiqiqiqi

    ReplyDelete