Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

RESENSI NOVEL VERSUS : KALEIDOSKOP 1998 DALAM NOVEL

 
Judul                          :            Versus
Penulis                       :            Robin Wijaya
Penerbit                      :            Gagas Media
Tebal                          :            400 hal
Genre                          :            Fiksi
Terbit                          :            2013
ISBN                           :            9797806707


Resensi                       :
Ini adalah kisah persahabatan tiga lelaki : Amri, Chandra dan Bima, tentang masa remaja yang mereka lalui pada kurun waktu sekitar tahun 1998. Cerita terbagi atas 3 (tiga) fragmen yang dituturkan oleh masing-masing tokoh ini secara bergantian, dan pada masing-masing fragmen, diawali dan ditutup dengan penceritaan pada masa sekarang.

Fragmen Satu dituturkan oleh Amri. Remaja pria ini memiliki ayah seorang polisi, dan seorang adik yang menderita penyakit TBC bernama Danu. Kepergian ibunya akibat penyakit yang sama diderita Danu, membuat ayahnya menjelma seorang pria yang keras, penuntut, dan emosional. Dimata Amri, ayahnya adalah sosok yang tak pernah mampu mengerti dirinya dan selalu membanding-bandingkan antara dirinya dengan adiknya. Amri merasa dirinya selalu dianggap pecundang dan tidak lebih baik dari Danu, dan dalam puncak perselisihan mereka, ayahnya mengusir Amri dari rumah. Turut pula diselipkan kisah cinta monyet antara Amri dan Nuri, teman SMAnya dalam fragmen ini, selain kisah persahabatan Amri dengan Chandra dan Bima.

Fragmen Dua menjadi bagian kisah Chandra, seorang warga keturunan, yang sejak kecil selalu menjadi bahan ejekan dan celaan rekan-rekannya karena dia seorang china. Bahkan pada masa remaja, ia juga mengalami bully di sekolah dari kakak-kakak kelasnya. Orang tua Chandra mempunyai sebuah toko kelontong. Pada fragmen ini, pembaca akan disuguhkan konflik seputar usaha milik orang tua Chandra, seperti kasus pencurian barang yang dilakukan karyawan toko dan dipergoki oleh ketiga sahabat ini, toko yang terbakar, ayah Chandra mengalami penganiayaan dan diduga pelakunya adalah karyawan ayahnya yang dipecat, juga badai krisis moneter yang dampaknya turut menimpa usaha keluarga mereka. Polemik ini diceritakan berselang-seling dengan kisah pem-bully-an terhadap Chandra di sekolah, kisah persahabatannya, juga kehidupan kedua sahabatnya Amri dan Bima di mata seorang Chandra.

Kisah ini ditutup dengan fragmen tiga yang dituturkan oleh Bima. Sosok yang digambarkan paling liar didalam kisah ini. Kedua orang tua Bima bercerai ketika dia masih kecil. Hidupnya dan Arya abangnya menjadi berantakan akibat perceraian itu. Semakin besar, Bima mulai curiga akan perubahan Arya, abang kandungnya. Kecurigaannya terbukti. Abangnya ternyata mengidap disorientasi seksual dan menjalani profesi sebagai waria penjaja diri. Pada bagian ini, kita akan disuguhkan rentetan akan perceraian kedua orang tua Bima, pertentangan antara Bima dan abangnya setelah Bima mengetahui jati diri Arya, juga tawuran antar Kampung Anyar dan Kampung Bayan, tempat tinggal ketiga sahabat ini. Dalam peristiwa tawuran itu, Danu adik Amri yang nekad mengikuti pemuda kampung lainnya untuk berkelahi, tewas oleh hantaman linggis. Ketiga sahabat itu ikut ditangkap bersama para pemuda lainnya dan sempat mendekam dalam tahanan polisi.

Membaca ketiga fragmen ini, kita seakan diajak menyaksikan kaleidoskop peristiwa yang terjadi pada tahun 1998, mulai dari tawuran antar kampung, kaum etnis yang kerap mengalami diskriminasi, krisis moneter, juga demo besar-besaran yang menggulingkan rezim pemerintahan Orde Baru. Kita juga akan diingatkan pada ornamen-ornamen yang mewakili identitas trend pada masa itu, seperti grup band Nirvana dan Kurt Cobain, komik-komik silat, surga video bajakan di Glodok, permainan Tamiya, telenovela, dan lain-lain.

Ini adalah novel kedua terbitan Gagas Media yang mengambil latar waktu 1998 setelah Notasi karya Morra Quatro. Jika Morra membidik peristiwa demo dan penyerangan terhadap mahasiswa di kampus sebagai sentral cerita, maka pada kisah ini, Robin cenderung memosisikan semua kejadian pada masa itu sebagai latar pendukung. Cerita lebih terfokus pada persahabatan Amri, Chandra dan Bima, juga kehidupan yang mereka lalui serta konflik dalam keluarga mereka. Mungkin, diantara semua peristiwa yang menjadi penanda zaman itu, yang cukup dominan ditampilkan adalah pada diskriminasi etnis yang dialami Chandra dan tawuran antar kampung.

Dari sisi tema dan penyajian, novel Versus tergolong unik. Meski cerita dituturkan oleh tiga orang secara bergantian, dan menggunakan alur campuran, antara ketiganya tetap terdapat benang merah yang solid.

Melihat judul, blurb dan beberapa resensi di goodread sebelum membaca novel ini, saya sempat berekspektasi bahwa novel ini bakal menjadi novel yang benar-benar macho dan ‘laki’. Sayangnya, ekspektasi saya sedikit meleset.

Mungkin, karena sebelum ini Robin Wijaya, penulisnya telah menulis beberapa novel roman, dan telah pula memiliki kekhasannya di genre tersebut, maka cara penuturan pada novel-novel terdahulu kerap dilakukan Robin dalam novel ini, pada penggunaan kalimat yang panjang-panjang, rangkaian kata indah yang sekaligus berfungsi sebagai quote, dan sebagian besar cerita yang dituturkan secara naratif, hingga terkesan seperti sebuah diary.

Bagian penceritaan yang terasa ‘macho’ bagi saya  justru terletak pada epilog. Saya pikir, jika pola penuturan semacam ini lebih diperbanyak Robin, nuansa novel ini bakal menjadi lebih maskulin dan mencekam.

Karakter ketiga tokohnya juga nyaris typikal dan sisi emosinya terasa kurang mendalam. Hanya pembedaan sebutan ‘aku, gue dan saya’ serta penyebutan nama tokoh pada setiap fragmen  yang menjadi penanda siapa yang sedang bertutur. Sayangnya, sosok Bima yang digambarkan sebagai sosok preman sejak awal, justru kebagian bertutur dengan kata ganti ‘saya’, sehingga kesan keliarannya pun jadi tereduksi. Mungkin, lebih pas kalau sosok ini menggunakan kata ganti aku untuk memperkuat karakter dan keegoannya.

Terlepas dari semua itu, novel ini cukup memberikan warna tersendiri. Salut untuk usaha Robin menghadirkan Versus di tengah-tengah trend novel roman melankolis saat ini dan menulis genre yang berbeda dari novel-novelnya sebelumnya. Saya yakin, bukan hal mudah memutar balik memori akan peristiwa belasan tahun silam itu, masa penuh tragedi yang akan selalu menjadi latar belakang menarik untuk diceritakan dalam berbagai versi.

Salah satu pesan positif dari novel ini, bahwa perbedaan dalam banyak hal bukanlah halangan untuk menjalin kebersamaan dalam persahabatan.

Sebagai penutup, berikut 2 (dua) kalimat favorit saya dari novel ini :
“Menjadi dewasa mengajarkan gue bahwa hidup nggak pernah jadi lebih mudah. Lo harus siap menghadapi hal yang nggak menyenangkan sama sekali. Dan itu bisa terjadi kapan aja, entah lo siap atau nggak.”

“Dalam hidup kita perlu punya keberanian, dan keberanian hanya akan muncul dengan mengalahkan rasa takut lebih dulu.”

5 comments

  1. Aku belum pernah baca novel Robin Wijaya. Hmm..pengen bisa 'nyicip' salah satu bukunya. Kalo penulis roman laki-laki lainnya, seperti Moemoe Rizal misalnya, udah beberapa novelnya aku baca. Sejauh ini suka :D

    ReplyDelete
  2. Robin rata2 novel romantis mbak eky:-)

    ReplyDelete
  3. Aku belum pernah baca juga novel Robin Wijaya. Dia spesialis Gagas ya?

    ReplyDelete
  4. aku punya yang Before Us, yang lain2 belum pernah baca lagi bun :D

    ReplyDelete