Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

TENTANG SETTING

Catatan di bawah ini, seperti biasanya hanyalah berdasarkan pengalaman yang saya rasakan saat membaca buku. Jadi, bagi yang membutuhkan tips yang lebih tepat dan akurat, saya sarankan, lebih baik mencarinya di buku-buku panduan menulis atau pun info link yang memang lebih pas untuk itu.

Tak jarang, saat membaca sebuah novel, elemen-elemen pendukung yang semestinya bisa membuat performa novel tampil lebih baik justru berefek sebaliknya, salah satunya dalam hal setting, atau latar cerita. Baik itu terkait setting waktu, tempat mau pun situasi sosial-kultural. Ada beberapa hal yang membuat deskripsi setting justru terasa mengganggu proses membaca, antara lain, sbb :


  1. Setting cut ‘n’ glue
“It seems you just take an info from some place and put it into your story”.
Ini salah satu kritik yang pernah di-inbox temen saya untuk salah satu novel saya, (nggak sok-sokan pake english, tapi emang inbox die pake bahasa english) dan saya sangat thanksful dengan kritiknya, karena itu jadi pemicu saya untuk berbenah dalam hal penggalian setting.
Cut ‘n’ glue mengacu pada tindakan serupa kritik temen saya itu, kita menyalin dari satu sumber dan meletakkannya di dalam tulisan kita tanpa banyak pertimbangan apalagi riset yang menyeluruh terhadap setting tsb. Bagi pembaca yang nggak terlalu fokus soal setting, hal ini mungkin nggak akan terlalu masalah, tapi di mata pembaca yang jeli, hal ini bisa terlihat seperti tambal sulam yang nggak rapi dan ngejahitnya asal-asalan.

  1. Setting yang “kasar”
Pernah nemu nggak, deskripsi setting pada sebuah novel yang saat membacanya seolah-olah kita sedang membaca non fiksi? Ini mungkin disebabkan saat nulisnya, si penulis nggak mempertimbangkan harmonisasi antara tutur fiksi dengan info yang dia ambil untuk dimasukkan ke dalam tulisannya, padahal, untuk bisa tampil smooth, apa pun info setting yang diserap, harus bisa tampil nyaris tak kelihatan, dan menyatu dengan baik dengan ceritanya.

Satu contoh novel untuk setting yang menyatu dengan baik ini, menurut saya adalah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Di situ penulisnya – menurut saya – berhasil mengolaborasikan dengan sangat baik hal2 tentang setting dengan cerita yang dia bangun, nggak hanya setting tempat tetapi juga setting sosio-kulturnya, sehingga pembaca merasa seolah-olah benar2 berada di tempat kejadian.

  1. Setting yang berjejal
Wah, sebagai pembaca, saya paling sakit hati kalo baca novel yang settingnya berjejal. Mau tahu yang kaya’ gimana? Antara lain, novel yang dalam sebagian besar lembarnya selalu aja terdapat kosakata bahasa or nama asing dari tempat yang dijadiin setting, baik itu yang terdapat dalam narasi maupun dialog, walaupun udah disertai footnote, tetap aja rasanya melelahkan saat harus pindah2 baca dari atas ke bawah. Kalo boleh ngasih saran ama yang nulis, mbok ya selama kosakata itu punya padanan katanya dalam bahasa kita, ya nggak perlulah ditulis dalam bahasa aslinya, kecuali kalo nggak ada, ya silahkan aja.

Banyaknya jejalan kosakata asing dalam novel, percaya deh, nggak bakal bikin kamu terlihat benar-benar tahu, justru kelihatannya malah sok tahu (maaf) dan bikin pembaca yang nggak tahu jadi rada sebel. Untuk pembaca yang tahu, karena emang tinggal di tempat yang dijadiin latar misalnya, justru penulis harus ekstra hati2, karena tak jarang, info2 yang berseliweran di internet belum tentu sama dengan realitanya.

  1. Setting yang kurang imajinatif
Ini berlaku untuk novel fanfic. Kalau untuk genre ini, memang dituntut kemampuan maksimal untuk bisa mendeskripsikan setting yang sangat “ngayal” sehingga bisa membawa pembacanya ke dunia lain, dunia yang nggak pernah mereka lihat dan alami. Semakin tinggi nghayalnya, semakin berhasil memengaruhi pembaca, semakin baiklah nilai sebuah fanfic.

  1. Setting yang minim
Yang biasa maen di GRI, mungkin pernah ngebaca salah satu kritik pembaca untuk novel Ilana Tan yang ngambil setting London, “koq nggak kerasa suasana London-nya? dan karena tokohnya orang Korea, malah lebih kerasa Korea-nya.”

Untuk bisa mendapatkan setting yang benar-benar pas dengan kondisi real-nya tanpa penulisnya pernah pergi kesana, memang bukan hal mudah. Penulis nggak hanya cukup dengan mencari dan mengumpulkan riset, tetapi juga minimal pernah menyaksikan gambar atau film yang mengambil setting di tempat tersebut, mengetahui gambaran umum kondisi sosial kultur masyarakatnya agar dalam penggambarannya, walau nggak pas2 amat, setidaknya masih nyambung dan enak untuk dinikmati.

Novel Ai karya Winna Efendi cukup mewakili untuk setting Jepang yang bisa tampil maksimal dan natural, meskipun bagi pembaca yang tahu, ada beberapa bagian yang kurang pas dengan situasi sebenarnya, ini masih terselamatkan dengan kemampuan Winna Efendi menuturkan ceritanya yang lembut romantis dengan dukungan deskripsi setting yang baik.

Lalu, riset setting yang baik itu yang seperti apa?

Di bawah ini ada beberapa contoh usaha yang dilakuin penulis saat meriset settingnya  agar bisa maksimal :
1.       E.S. Ito membeli dokumen asli dari pemerintah Belanda seharga jutaan rupiah untuk mendukung novelnya Rahasia Meedee. (sumber info : majalah Annida, lupa tahun berapa)
2.       Sonia Nazario Penulis The Enrique Journey  melakukan perjalanan berbahaya melintasi perbatasan memasuki AS bahkan sampai pernah nyaris dibunuh dan diperkosa untuk dapat melakukan riset jurnalistik untuk novel tsb. Novel ini diganjar dengan penghargaan Pulitzer.
3.       Dee pernah menyetrum dirinya sendiri untuk merasakan efek kejutan listrik saat menulis novel Supernova untuk serial Petir.
4.       Andrea Hirata mengisi tabung bensin motornya hanya separoh sebelum masuk hutan, karena ingin merasakan sensasi rasa takut berada di tengah hutan dengan bensin yang minim saat membuat salah satu tetraloginya.
5.       Shabrina WS sampe mengumpulkan dan mengamati puluhan pose orang utan saat melakukan riset tindak-tanduk orang utan untuk novel duetnya Ping : A Message From Borneo!

Agak gila-gilaan emang ya? Yah, untuk bisa maksimal emang butuh pengorbanan, bagi yang ngerasa belum sanggup, lakukan sesanggupnya sajalah, yang penting kuasai tehnik penulisan yang baik, sehingga pengetahuan yang minim akan setting pun tak sampai mengurangi kenikmatan pembaca saat membaca bukunya, dan iringi dengan niat yang baik saat menulis, insya Allah hasilnya juga akan baik.

2 comments

  1. Kenapa harus pakai inisial sih, nama-nama penulis yang dicontohkan? :-)

    ReplyDelete